Kamis, 22 Oktober 2009

Setengahperempuan

P

ulau itu dulu tak bertuan.

Kemudian, pulau itu pernah perempuan.

Satuperempuan, yang memberi, yang menghidupi. Satu diri yang sesak oleh cinta (cinta itu, keramatnya sebuah kiamat). Ia tahu cinta yang terlalu itu akan menghabisi dirinya, namun keinginan membagi cinta itu demikian tak terelakkan, dan ia telah terlalu lelah sendirian. Sedang dunia, apa-apa yang diluar, tampak begitu bundar (kadang seperti selingkar ular), memberinya rasa gentar. Satuperempuan menginginkan sebuah persetubuhan. Ia butuh tubuh seorang lelaki. Dan sebuah keinginan gila: membelah diri jadi setengah.

Satuperempuan bersetubuh dengan lelaki. Lelaki memasuki, lelaki merasuki. Satuperempuan merasa dirinya bagai terbelah, tapi terasa indah. Dan tiba-tiba ia telah setengah, merasai betapa saat itu dirinya terbelah. Ditatapnya wujud diri aneh yang tampak baru itu (tubuh ini: tubuhnya, tubuhku). Keadaan utuh, luruh tubuh, dua yang satu, satu yang setengah, keutuhan setelah terbelah, luruh yang mengutuh. Seluruh, setubuh, keutuhan itu. Sempurna. Sebuah metafora yang sempurna.

Setengahperempuan begitu mengasihi tubuh baru, lebih dari kasih kepada tubuhnya yang dulu. Setengahperempuan mencintai setengahlelaki. Ia letakkan sebuah mahkota di kepala setengahlelaki, memberikan samudera untuknya, membisikkan puisi-puisi rahasia ke telinganya. Setengahlelaki berjanji sehidup-semati, bahkan rela mati, karena cintanya yang keterlaluan pada setengahpe-rempuan. Dan setiap hari adalah penemuan: lengkung senyuman baru, lekuk baru, tawa dalam nada berbeda, gerak tangan yang belum pernah kelihatan, sehelai uban...

Pulau lalu terindah, setengahperempuan-setengahlelaki.

(setengah sisa tubuh perempuan, berjalan di darat. Ia mendaki gunung, tertegun sesaat di bibir kawah, dan terjun ke kedalaman. Ia terbang melayang bersaput kabut, menuju perut bumi. Setengah sisa tubuh lelaki berjalan ke laut. Menerjang gelombang, menyusur turun samudera, tenggelam ke dasar palung terdalam. Mungkin mereka tak pernah bertemu lagi. Setengah diri yang berdiam diri. Atau mungkin mereka bertemu sesekali, menjanji sehidup semati, menghidupi lagi sebuah mimpi azali.)

Namun setengahlelaki, yang berotak kiri, diam-diam menyimpan dan membayangkan dalam setengah otaknya sebuah metamorfosa. Membesarkan dirinya. Aneh baginya, berdiam pada sebuah tubuh dalam keadaan setengah seperti itu. Ia mesti besar sebesar-besarnya. Setengahlelaki kurang mengindahkan yang pernah—dan yang semestinya—indah, apa-apa yang pada tempatnya. Ia menghendaki kuasa pada apa-apa, dan tegak atas kekuasaan atas semua. Melanggar simetri sebuah tubuh.

Ia merencanakan sebuah akhir, sebuah penikmatan. Mereka bercinta, bibir setengahlelaki memberi ciuman kematian di bibir setengahperempuan, mengulum bibir itu dalam. Begitu dalam, hingga terasa panas datang menerkam. Mulut setengah perempuan seperti kaku, mencekat dingin di tenggorokan, turun lebar dan mendekam di dalam tubuh setengahperempuan, seperti ketidakberdayaan. Ditatapnya tak percaya setengahlelaki yang mulai membesarkan diri di dalam tubuhnya, tubuh mereka (mengapa, kau mengingkariku, bukankah kau mencintaiku?). wajah setengah lelaki berubah-ubah coklat putih merahmuda emas hitam merah putih—entah warna apa, namun terang menyala. Nyala yang menyebar sambar dari dalam dari luar. Melahap tak beraturan telapak kaki, betis, tungkai kaki. Menghisap urat-urat nadi, leher, pusar, lengan dan dada setengahperempuan (sayangku, kau terlalu mengasihi kita, itulah dosamu). Tubuh itu, dengan bentuk setengahperempuan yang kian menghabis, tampak tak karuan (kau bahkan telah tahu kiamatmu). Tubuh itu tampak kian perkasa, otot-ototnya besi baja, mengembang sebesar gunung-gunung. Setengahlelaki kian jadi satulelaki. Dan mulailah ia berjalan ke pulau-pulau, memperlihatkan keperkasaan tubuhnya kemana-mana. Tubuh aneh itu berjalan tegap-tegap, mengendap-endap, menyergap.

Yang bersisa dari setengahperempuan hanyalah perutnya. Rahim itu, rongga yang terus-menerus berisi, untuk mengali lipat jumlah lelaki-lelaki, tubuh yang mesti meluruh, menggulang senggugut itu (sekaratku yang manis, aku masih cinta padamu, selalu). Setengahlelaki menjelma satulelaki menjelma banyak lelaki, berlebih lelaki (cintaku juga keterlaluan, bukankah kau sudah kuperingatkan? Aku menghukum yang paling kucinta, perempuanku, untuk sekedar tahu, begitu ingin tahu, sampai dimana lemahmu, kekuatanmu).

Satulelaki berjalan gagah sambil menceritakan kisah sendiri jadi sejarah, dalam seribu bahasa yang keras bergema, meneriakkan tanah dengan banyak nama-nama. Ia berlenggang menerjang pulau-pulau seribu kurang satu, dan banyak lagi yang jauh di luar itu, hendak menjadikan diri raja sepuluh ribu pulau. Jejak-jejak satulelaki tampak dimana-mana, oleh kakinya yang menginjak keras-keras tanah.

Tanah, yang tak lagi bertuah, yang sekali waktu pernah tergenggam tangan satuperempuan. Genggaman atas tanah itu, kasih yang berlalu, berkah sekaligus kutukan, keramat yang mencipta kiamat. Ia telah mengetahui, namun dikasihinya lelaki, kembar keramat, sekutu manis bagi sebuah kiamat.

Pulau itu menjelma lelaki.

Pulau bertuan. Yang Dipertuan.

Sudut kafe, tempat dimana kenangan diperjual-belikan, 20 Oktober 2009

(sebuah catatan bisu di sela-sela kepingan detik yang retak)

Tidak ada komentar: