Jumat, 21 Agustus 2009

Metafora Yang Sempurna

Sungguh ini semua jurang tak berdasar

Aku dan mungkin juga kamu, lupa masa kita terjatuh

Setiap langkah kaki meninggalkan jejak

pada dasar tanah ilusi


Kata yang sejak awal kutemukan

dan aku tahu digunakan untuk apa

ketika malam ungu tiba di akhir waktu


Demi waktu dan ruang

Demi warna yang sempat kuciptakan

Demi keterombang-ambingan tanpa akhir ini

Sebelum tubuhku hilang

Aku hanya ingin genggaman tangan seorang kekasih


(apakah kita tiada harap-harapan?)


adalah semerbak bunga

yang dibawa angin lembah yang basah airmata

walau cuaca galau dan angin memeram benih malam

namun kau masih setia berjalan dari waktu ke waktu

antara kenangan dan kerinduan

lebih puisi hari-harimu kini

endapan semerbak wangi rambutmu

Ketika malam berlari semakin larut,
kupasrahkan engkau terbang ke awan
dan menjauh dari jemariku yang lepas
agar mimpiku dapat pergi bersama kunang-kunang
terbang melintas langit kelam,
menembus awan, mencari engkau disana.

Dan bila fajar tiba, kutulis lagi sajak dari ilalang
meski semua huruf, kata dan bait bertebaran serupa rerumputan kering tertiup angin
demi menuntaskan hausmu pada perjalanan,
dan melunaskan rinduku pada kelahiran

(Walau tanpa huruf, tanpa kata, tanpa bait, bahkan tanpa suara)

Seutas usia hela nafasku saja; keinginan berpijak tanah
tempat bergugurannya Setiap huruf, kata dan syair menjadi debu,
untukku bermula, berakhir, dan berpulang mengembalikan sajak-sajak agar genaplah rasaku kepadamu

Engkau yang melayang diantara bunga ilalang,
ruang dimana segala mimpi terbuang,
adalah engkau yang menenggelamkanku pada kenangan
yang tersimpan dalam


21 Agustus 2009

(kontemplasi pada sebuah ambiguitas yang tak tuntas)

Dawn of Dreams

Sleepless I listen to the surge and drone
And drifting roar of the town’s undertone;
Till through quiet falling rain I hear the bells
Tolling and chiming their brief tune that tells
Day’s midnight end. And from the day that’s over
No flashes of delight I can recover;
But only dreary winter streets, and faces
Of people moving in loud clanging places:
And I in my loneliness, longing for you...

For all I did to-day, and all I’ll do
Tomorrow, in this city of intense
Arteried activities that throb and strive,
Is but a beating down of that suspense
Which holds me from your arms.

I am alive


Only that I may find you at the end


Of these slow-striking hours I toil to spend,

Putting each one behind me, knowing but this—
That all my days are turning toward your whisper;
That all expectancy awaits the deep
Consoling passion of your eyes, that keep
Their radiance for my coming, and their peace
For when I find in you my eternal sanctuary.

Rabu, 12 Agustus 2009

Ngomong-Ngomong Soal Janggut

Lagi-lagi postingan gak penting dari seorang (yang mengaku) kiri yang juga gak penting. Dan lagi, ini Cuma pengisi waktu luang kok, gak usah serius-serius amat bacanya, meskipun sebetulnya saya setengah serius ketika sedang menulis postingan ini setelah membaca postingan salah satu kawan tentang #INDONESIAUNITE (yang begitu apik dan menggugah). Ini lantas memaksa saya (yang sulit berpikir) untuk sedikit berpikir tentang teroris, kaum kiri, dan janggut. Ya, janggut!!! Itu yang selama ini jadi ganjalan di pikiran saya: kenapa Osama berjanggut? Noordin M. Top, Saddam Hussein, Imam Samudera, Che Guevara, bahkan Karl Marx berjanggut!!!

Pada awalnya saya kira ini hanya bagian dari kampanye Firdaus Oil yang menjanjikan ‘bulu-bulu tumbuh dalam seminggu’. Tapi ternyata tidak, sebab semenjak 2002, janggut, alih-alih mode, malah lebih bersifat politis. Contoh paling gampangnya Osama, dengan mata teduh, alis yang melengkung dan bukan menanjak, pipi yang tanpa kelebihan lemak, sorban dan jubah putih, serta janggut... memang memenuhi ideal wajah para wali, lebih dari Ayatollah Khomeini dua dekade lalu. Dan pada spanduk serta kaos para demonstran penentang agresi AS ke Afghanistan tertulis: “Osama Bin Laden is my hero.” Ia jadi seperti Che Guevara dalam dunia kiri. Barangkali juga lebih, sebab kaum kiri sebelumnya tak punya prototipe penampilan.

Di Indonesia sorban, jubah, janggut telah menjadi ikon para pendukung jihad fisik eksternal. Di lampu merah, di pintu-pintu jalan tol, kita pasti pernah melihat pendukung laskar jihad yang membagi-bagikan selebaran. Mereka mengenakan tiga hal ini: sorban, jubah, janggut.

Namun ada penyederhanaan yang sedikit kurang ajar dalam pengasosiasian kiri dengan janggut. Yaitu pemilahan dua kutub: kutub koalisi AS-kapitalisme (yang emang udah satu paket dari sononya) dan kutub koalisi kiri dengan janggut (yang notabene nggak berkaitan sama sekali). Seolah-olah hanya ada satu cara menentang hegemoni AS dan kapitalismenya, yaitu dengan mendeklarasikan diri sebagai kiri fundamentalis ekstrimis dan meledakkan hotel. Sejajar dengan itu, jika seseoarang tidak suka dengan kelompok teroris, lantas berpihak pada AS dan kapitalisme. Terorisme dan janggutisme telah menjadi simbol, dan seolah-olah, satu-satunya perlawanan terhadap AS.

Padahal banyak dari kita tahu, bahkan di New York ratusan warga AS membawa nama beragam agama dan mengutuk terorisme. Di pihak lain, seorang juru bicara Arab Saudi mengenakan setelan jas dan dasi dalam wawancara BBC dan bilang bahwa terorisme merusak citra Islam. Bagi saya yang melihat wawancara itu secara visual, sorban dan janggut bukan menjadi satu-satunya representasi dan simbol muslimin.

Di Afghanistan, pemerintah Taliban membuat wanita mengenakan burqa dan pria berjanggut. Di Uzbekistan, tetangga mereka, Presiden Islam Karimov justru mencurrigai janggut. Di negeri bekas Soviet ini Kementrian Pendidikan Tinggi membikin peraturan yang melarang orang-orang berkerudung atau berpeci masuk universitas. Alasannya, “Itu mengacaukan politik dalam negara ini.” Mahasiswa dan pemuka agama yang berjanggut panjang dicurigai dan ditangkapi dengan semena-mena karena tuduhan fundamentalis.

Berabad-abad lalu, para patriakh ortodoks Russia malah mengharuskan lelaki berjanggut. Alasannya, “Yesus pun memelihara janggut.” Manusia (atas nama budaya patriakal yang agung mohon dibaca: laki-laki) yang alim juga mesti begitu. Yang bercukur adalah orang Romawi, para kafir itu.

Namun muncullah Peter Agung yang membawa Russia pada westernisasi dan modernisasi di abad ke-17. Ia melihat para agamawan sebagai kaum terbelakang yang bersandar pada takhayul. Bagian dari modernisasinya adalah menumpas keterbelakangan melalui pemangkasan terhadap simbolnya: melarang janggut. Tentu saja para patriakh menentang hal itu. Jalan tengah yang diambil Sang Tsar adalah mengenakan pajak janggut. Orang Russia boleh berjanggut, asal bayar pajak.

Pernah juga dalam artikel berjudul “To Beard or not to Beard”, seorang penulis Uzbekistan, Salimjon Aioubov, menulis dengan begitu lucunya bagaimana janggut menjadi lebih politis ketimbang gencatan senjata. Di masa Soviet, janggut dicurigai sebagai pengaruh buruk hippi Amerika Serikat. Foteh Abdullo, seorang penyair dan dosen di Tajikistan, memelihara janggut panjang. Ia pun di panggil oleh otoritas kampus dan sekretaris ideologi partai komunis setempat dalam serangkaian debat mengenai janggutnya itu. Ia menjawab bahwa ia pengagum habis-habisan Karl Marx, Lenin, dan Fidel Castro. Ketiganya berjanggut kan? Maka ia tak diganggu lagi.

Begitulah. Sebetulnya Che Guevara berjanggut. Trotsky berjanggut. Xanana Gusmao juga. Tapi janggut mereka tak pernah menjadi begitu politis dan eksistensial. Janggut mereka adalah janggut pribadi yang boleh jadi karena bersolek atau malah karena tak sempat bercukur.

Namun ada yang tidak adil dalam idealisasi janggut. Bagaimana dengan teman-teman saya yang, seperti kebanyakan orang Indonesia, tidak ditakdirkan untuk berbulu? Misalnya, si Dalili itu. Meski lama tinggal di Syiria dan berbadan besar seperti orang Arab, tapi dia kan tidak berbulu. Maka, barangkali ia akan sedikit mengomel, “Jangan-jangan ini bagian dari kampanye Firdaus Oil, atau Kumis Top Cream yang menjanjikan bulu-bulu tumbuh dalam seminggu.”

Senin, 03 Agustus 2009

Larik-Larik Malam

do’a-do’a
adalah satu puisi yang melantunkan malam
larik-larik sunyi diarak bagai bisik takbir
malam ini, aku terus menulis
sujudku yang tipis

Mad chat in a hat

Alkisah, di tengah percakapan bodoh bin ajaib antar dua mahasiswa FISIP UI...


Mahasiswa 1: Tebak nih; Kakinya tiga, matanya delapan, idungnya di jidat, jidatnya di bibir, buluan item keriting tapi jarang2... apa coba?

Mahasiswa 2: Jerapah!!! (I know, I know... it’s totally unrelated)

Mahasiswa 1: Salah...

Mahasiswa 2: Apa dong?

Mahasiswa 1: Monster...

Mahasiswa 2: *************!!!!!!!!! (bagian ini perlu disensor, harap maklum)


*Setelah selingan kata-kata mutiara:


Mahasiswa 1: ada lagi nih

Mahasiswa 2: wot..?

Mahasiswa 1: kakinya satu, matanya tiga—warnanya merah kuning ijo, adanya di perempatan, apa coba?

Mahasiswa 2: LAMPU MERAH!!!

Mahasiswa 1: Salah...

Mahasiswa 2: WATDEFAK?!! Apa dong?

Mahasiswa 1: monster...

*GUBRRAAAAKKKKK...*


Yahhh... beginilah nasib saya... dengan sangat menderitanya terpaksa hidup di tengah-tengah manusia berakal KURANG SEHAT!!!
Huff...

Minggu, 02 Agustus 2009

Ngomong-Ngomong Soal Gentong...

Bagaimana beda rasa memiliki dan rasa tak ikut memiliki?

Setipis rambut disuwir tujuh.

Marilah kita mengenang benda yang sudah tak terlalu jamak di Jakarta: telepon umum. Semenjak pon-gam (telepon genggam) turun harga, kabin telepon memang tak lagi umum. Sebagian kita mungkin ingat bagaimana buku petunjuk di bilik telepon publik selalu dirobek. Atau menunggu giliran sementara orang di dalam mengait koin dengan benang supaya bisa ditarik kembali. Atau kotak koin dikuak. Kita menyebutnya vandalisme.

Tetapi, ada kawan yang suka sekali menceritakan pengalaman buruknya dengan telepon umum (paling tidak, lebih dari dua kali saya mendengarkan dia bertutur). Dia sedang mau kencan dengan pacar gelapnya. Berhubung belum jaman pon-gam, mereka janjian diam-diam. Ia akan menghubungi dari bilik telepon umum terdekat. Maka, pergilah si cowok itu ke bilik di pojok jalan tak jauh dari rumah sang cewek. Agak gelap. Mungkin sore. Mungkin mendung. Ketika tangannya meraih gagang telepon, ia merasa ada yang lengket. Insting primitifnya pun berfungsi. Seperti semua binatang, ia mencium tangannya. Tahulah dia bahwa yang melumuri gagang telepon itu adalah tinja manusia.

Barangkali kuwalat karena kencan gelap. Tapi itu bukan persoalan kita. Persoalan kita: di mana batas rasa memiliki dan rasa tak memiliki? Ya setipis rambut diiris membujur tujuh itu tadi. Sama seperti pertanyaan: apakah anda cenderung membuang hajat di tempat yang pribadi atau tidak?

Orang yang meninggalkan tinja bisa jadi merasa bahwa bilik itu kakus bersama. Orang yang mengorek kotak koin mungkin anak-anak yang mengira bahwa itu celengan rame-rame. Orang yang merobek halaman buku telepon mungkin tukang pisang molen yang tak bisa baca, sehingga satu-satunya fungsi kertas adalah membungkus gorengan. Jadi, motifnya sama sekali bukan vandalisme. Tujuannya bukan merusak, tapi hasilnya merusak.

Sialnya, kita hanya melihat hasil akhirnya. Kita tak tahu lagi siapa pelakunya untuk bertanya maunya apa sih. Nah, kalaupun kita ketemu pelakunya, belum tentu juga kita berani bertanya. Mungkin sudah keder duluan.

Pernahkah ada di antara kita yang berani berhenti di tengah jalan di tempat gentong berhenti? Lalu, bertanya pada orang-orang yang menaruh gentong itu, yang jelas-jelas mengasongkan jaring penangkap kupu-kupu, “Mau kalian apa, sih?” Sebab, mau mereka sudah jelas: sumbangan, yaitu uang. Entah untuk memperbaiki jalan atau jembatan (dulu banyak), membangun masjid (sekarang paling sering), atau meminta donasi untuk demokrasi (contohnya, kerap terjadi di depan kantor Komnas HAM di jalan Latuharhari atau LBH di jalan Diponegoro).

Tak satu pun dari pengendara yang tega bertanya, “Siapa yang memberi kalian hak untuk menaruh gentong di tengah jalan?”

Sebab pertanyaan itu sebetulnya sudah kaprah untuk Indonesia. Pertanyaan formalis macam tadi mengandaikan Indonesia adalah negara modern. Yaitu, negara yang punya pusat hukum yang diakui oleh seluruh warga dan wilayahnya. Kenyatannya, Indonesia lebih Foucoultian dan keposmo-posmoan: kekuasaan ada dimana-mana, pusat-pusat kekuasaan merajalela. Maka, muasal hak untuk menaruh gentong adalah kenyataan bahwa mereka penguasa lokal, penguasa kampung. Permanen (seperti kasus gentong untuk pembangunan jalan atau surau) maupun temporer (seperti mahasiswa di muka LBH). Mereka punya rasa memiliki jalan. Yang Cuma numpang lewat lalu bisa mengumpat; “Emang jalan nenek lu!”

Meski tanpa kampanye otonomi daerah, hukum adat dalam bentuknya yang paling primitif, yaitu hukum rimba, sesungguhnya tetap berlaku. Kita membiarkannya berlaku.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Selamat Pagi Dunia!!!

Beginilah kegiatan manusia kurang kerjaan disaat bangun terlalu pagi. Entah kenapa tiba2 gw masuk ke blog salah satu kawan dan membaca postingan-nya satu-persatu, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, dan akhirnya tersadar... bahwa... nge-blog ternyata kok seru yah!!!

Tiba2 aja gw teringat multiply yg gw bikin dulu sekali dan gak pernah gw singgung sedikitpun. Alhasil mulai kepikiran: "What a waste!" Karena sebenernya gw bisa nulis apa aja di blog, ide tolol kek, ide guobluog kek... bahkan sampai hal yg gak ada gunanya sekalipun!!!

Well, jadilah gw akhirnya bikin blog baru di blogspot yg mudah2an bisa berguna (sekurang-kurangnya untuk gw sendiri) sebagai ajang menyalurkan apapun seperti ide, ketololan, cuap-cuap gak penting, atau libido sekalipun - be creative!

So, selamat pagi dunia!!!