Rabu, 12 Agustus 2009

Ngomong-Ngomong Soal Janggut

Lagi-lagi postingan gak penting dari seorang (yang mengaku) kiri yang juga gak penting. Dan lagi, ini Cuma pengisi waktu luang kok, gak usah serius-serius amat bacanya, meskipun sebetulnya saya setengah serius ketika sedang menulis postingan ini setelah membaca postingan salah satu kawan tentang #INDONESIAUNITE (yang begitu apik dan menggugah). Ini lantas memaksa saya (yang sulit berpikir) untuk sedikit berpikir tentang teroris, kaum kiri, dan janggut. Ya, janggut!!! Itu yang selama ini jadi ganjalan di pikiran saya: kenapa Osama berjanggut? Noordin M. Top, Saddam Hussein, Imam Samudera, Che Guevara, bahkan Karl Marx berjanggut!!!

Pada awalnya saya kira ini hanya bagian dari kampanye Firdaus Oil yang menjanjikan ‘bulu-bulu tumbuh dalam seminggu’. Tapi ternyata tidak, sebab semenjak 2002, janggut, alih-alih mode, malah lebih bersifat politis. Contoh paling gampangnya Osama, dengan mata teduh, alis yang melengkung dan bukan menanjak, pipi yang tanpa kelebihan lemak, sorban dan jubah putih, serta janggut... memang memenuhi ideal wajah para wali, lebih dari Ayatollah Khomeini dua dekade lalu. Dan pada spanduk serta kaos para demonstran penentang agresi AS ke Afghanistan tertulis: “Osama Bin Laden is my hero.” Ia jadi seperti Che Guevara dalam dunia kiri. Barangkali juga lebih, sebab kaum kiri sebelumnya tak punya prototipe penampilan.

Di Indonesia sorban, jubah, janggut telah menjadi ikon para pendukung jihad fisik eksternal. Di lampu merah, di pintu-pintu jalan tol, kita pasti pernah melihat pendukung laskar jihad yang membagi-bagikan selebaran. Mereka mengenakan tiga hal ini: sorban, jubah, janggut.

Namun ada penyederhanaan yang sedikit kurang ajar dalam pengasosiasian kiri dengan janggut. Yaitu pemilahan dua kutub: kutub koalisi AS-kapitalisme (yang emang udah satu paket dari sononya) dan kutub koalisi kiri dengan janggut (yang notabene nggak berkaitan sama sekali). Seolah-olah hanya ada satu cara menentang hegemoni AS dan kapitalismenya, yaitu dengan mendeklarasikan diri sebagai kiri fundamentalis ekstrimis dan meledakkan hotel. Sejajar dengan itu, jika seseoarang tidak suka dengan kelompok teroris, lantas berpihak pada AS dan kapitalisme. Terorisme dan janggutisme telah menjadi simbol, dan seolah-olah, satu-satunya perlawanan terhadap AS.

Padahal banyak dari kita tahu, bahkan di New York ratusan warga AS membawa nama beragam agama dan mengutuk terorisme. Di pihak lain, seorang juru bicara Arab Saudi mengenakan setelan jas dan dasi dalam wawancara BBC dan bilang bahwa terorisme merusak citra Islam. Bagi saya yang melihat wawancara itu secara visual, sorban dan janggut bukan menjadi satu-satunya representasi dan simbol muslimin.

Di Afghanistan, pemerintah Taliban membuat wanita mengenakan burqa dan pria berjanggut. Di Uzbekistan, tetangga mereka, Presiden Islam Karimov justru mencurrigai janggut. Di negeri bekas Soviet ini Kementrian Pendidikan Tinggi membikin peraturan yang melarang orang-orang berkerudung atau berpeci masuk universitas. Alasannya, “Itu mengacaukan politik dalam negara ini.” Mahasiswa dan pemuka agama yang berjanggut panjang dicurigai dan ditangkapi dengan semena-mena karena tuduhan fundamentalis.

Berabad-abad lalu, para patriakh ortodoks Russia malah mengharuskan lelaki berjanggut. Alasannya, “Yesus pun memelihara janggut.” Manusia (atas nama budaya patriakal yang agung mohon dibaca: laki-laki) yang alim juga mesti begitu. Yang bercukur adalah orang Romawi, para kafir itu.

Namun muncullah Peter Agung yang membawa Russia pada westernisasi dan modernisasi di abad ke-17. Ia melihat para agamawan sebagai kaum terbelakang yang bersandar pada takhayul. Bagian dari modernisasinya adalah menumpas keterbelakangan melalui pemangkasan terhadap simbolnya: melarang janggut. Tentu saja para patriakh menentang hal itu. Jalan tengah yang diambil Sang Tsar adalah mengenakan pajak janggut. Orang Russia boleh berjanggut, asal bayar pajak.

Pernah juga dalam artikel berjudul “To Beard or not to Beard”, seorang penulis Uzbekistan, Salimjon Aioubov, menulis dengan begitu lucunya bagaimana janggut menjadi lebih politis ketimbang gencatan senjata. Di masa Soviet, janggut dicurigai sebagai pengaruh buruk hippi Amerika Serikat. Foteh Abdullo, seorang penyair dan dosen di Tajikistan, memelihara janggut panjang. Ia pun di panggil oleh otoritas kampus dan sekretaris ideologi partai komunis setempat dalam serangkaian debat mengenai janggutnya itu. Ia menjawab bahwa ia pengagum habis-habisan Karl Marx, Lenin, dan Fidel Castro. Ketiganya berjanggut kan? Maka ia tak diganggu lagi.

Begitulah. Sebetulnya Che Guevara berjanggut. Trotsky berjanggut. Xanana Gusmao juga. Tapi janggut mereka tak pernah menjadi begitu politis dan eksistensial. Janggut mereka adalah janggut pribadi yang boleh jadi karena bersolek atau malah karena tak sempat bercukur.

Namun ada yang tidak adil dalam idealisasi janggut. Bagaimana dengan teman-teman saya yang, seperti kebanyakan orang Indonesia, tidak ditakdirkan untuk berbulu? Misalnya, si Dalili itu. Meski lama tinggal di Syiria dan berbadan besar seperti orang Arab, tapi dia kan tidak berbulu. Maka, barangkali ia akan sedikit mengomel, “Jangan-jangan ini bagian dari kampanye Firdaus Oil, atau Kumis Top Cream yang menjanjikan bulu-bulu tumbuh dalam seminggu.”

Tidak ada komentar: