Sungguh ini semua jurang tak berdasar
Aku dan mungkin juga kamu, lupa masa kita terjatuh
Setiap langkah kaki meninggalkan jejak
pada dasar tanah ilusi
Kata yang sejak awal kutemukan
dan aku tahu digunakan untuk apa
ketika malam ungu tiba di akhir waktu
Demi waktu dan ruang
Demi warna yang sempat kuciptakan
Demi keterombang-ambingan tanpa akhir ini
Sebelum tubuhku hilang
Aku hanya ingin genggaman tangan seorang kekasih
(apakah kita tiada harap-harapan?)
adalah semerbak bunga
yang dibawa angin lembah yang basah airmata
walau cuaca galau dan angin memeram benih malam
namun kau masih setia berjalan dari waktu ke waktu
antara kenangan dan kerinduan
lebih puisi hari-harimu kini
endapan semerbak wangi rambutmu
Ketika malam berlari semakin larut,
kupasrahkan engkau terbang ke awan
dan menjauh dari jemariku yang lepas
agar mimpiku dapat pergi bersama kunang-kunang
terbang melintas langit kelam,
menembus awan, mencari engkau disana.
Dan bila fajar tiba, kutulis lagi sajak dari ilalang
meski semua huruf, kata dan bait bertebaran serupa rerumputan kering tertiup angin
demi menuntaskan hausmu pada perjalanan,
dan melunaskan rinduku pada kelahiran
(Walau tanpa huruf, tanpa kata, tanpa bait, bahkan tanpa suara)
Seutas usia hela nafasku saja; keinginan berpijak tanah
tempat bergugurannya Setiap huruf, kata dan syair menjadi debu,
untukku bermula, berakhir, dan berpulang mengembalikan sajak-sajak agar genaplah rasaku kepadamu
Engkau yang melayang diantara bunga ilalang,
ruang dimana segala mimpi terbuang,
adalah engkau yang menenggelamkanku pada kenangan
yang tersimpan dalam
21 Agustus 2009
(kontemplasi pada sebuah ambiguitas yang tak tuntas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar